Berbeda pendapat adalah fitrah manusia. Apalagi dalam masalah-masalah fiqh yang banyak sekali cabang pembahasannya. Selama masih dalam ketentuan syariat dan didasari niat yang benar maka perbedaan pendapat dalam fiqh tersebut menjadi suatu kelonggaran bagi umat. Bahkan perbedaan pendapat sudah menjadi hal yang wajar semenjak zaman para sahabat.
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa pada perang Ahzab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan salat Asar ketika telah sampai di Banu Qaraizhah. Namun sebagian sahabat salat Asar ketika masih dalam perjalanan karena takut waktu salat habis, sedangkan sebagian yang lain tetap bersikukuh untuk salat Asar di Bani Quraizhah meski waktunya telah habis. Ketika hal ini diceritakan kepada Rasulullah, beliau tidak mencela dua golongan tadi. (Lihat penjelasan Imam Nawawi mengenai hadits ini dalam kitab "Al-Minhaj" no. hadis 1770)
Diriwayatkan pula ada dua orang sahabat yang berpergian bersama. Ketika tiba waktu salat mereka tidak menemukan air untuk berwudhu sehingga mereka berdua bertayammum kemudian salat. Beberapa saat kemudian mereka menemukan air. Salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang salatnya lagi, sedangkan satunya lagi tidak mengulangi salatnya. Kemudian mereka menceritakan perbuatannya masing-masing kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kepada orang yang tidak mengulangi salatnya, Rasulullah bersabda, "Engkau telah sesuai dengan sunnah dan salatmu telah memberimu pahala." Sedangkan kepada sahabat yang mengulangi salatnya, "Engkau memperoleh pahala yang ganda." (HR. Abu Dawud, Nasai, Darquthni, dan Hakim)
Beranjak dari fakta di atas, seorang penuntut ilmu tidak sewajarnya merasa alergi dengan perbedaan pendapat dan menganggapnya sebagai penyakit, seakan-akan menginginkan semua orang sama dalam segala hal termasuk dalam hukum fiqh. Seharusnya ia mengetahui perbedaan pendapat dan menempatkan pada tempatnya. Bukankah orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat dalam masalah agama tidak dianggap sebagai seorang ulama.
Seorang tabi'i bernama Qatadah bin Da'amah As-Sadusi (w. 118 H) mengatakan bahwa siapa saja yang tidak mengetahui perbedaan pendapat pada masalah fiqh maka ia belum mencium fiqh dengan hidungnya. Sedangkan Atha' bin Abu Muslim al-Khurasani (w. 135 H) mengatakan bahwa, "Tidak sepantasnya seseorang memberikan fatwa kepada manusia sampai ia mengetahui perbedaan mereka dalam berpendapat. Kalau ia belum sanggup maka ia hendaknya menyerahkan urusannya tersebut kepada ia lebih berilmu dan terpecaya darinya." Said bin Abu Arubah (w. 157 H) pernah mangatakan, "Janganlah engkau menganggap seseorang itu sebagai seorang yang alim apabila ia belum pernah mendengar perbedaan pendapat."
Ketika seseorang tidak tahu perbedaan pendapat dalam suatu masalah maka bisa jadi ia menolak sesuatu yang pada hakikatnya benar namun belum ia ketahui. Lebih parah lagi jika ia belum menguasai perbedaan pendapat para ulama sebelumnya tapi ia sangat mudah mengeluarkan fatwa. Ia menentukan hukum halal dan haram dengan hanya melihat satu dalil dalam suatu masalah tanpa mencari apakah ada dalil lainnya yang mengkhususkannya (takhshish), menghapusnya (naskh), atau membatasinya (taqyid). Sikap seperti ini akan menimbulkan kekacuan yang tak berhenti dan menimbulkan fitnah.
Pada akhirnya, kita hendaknya menyadari bahwa perbedaan pendapat dalam ilmu agama adalah fakta yang perlu dipelajari agar kita bisa memilih mana yang terbaik. "Selamat Belajar!"
Sumber :
Jami'u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 2/815-816.
Siyaru A'lamun Nubala, 6/413
*Penulis adalah alumni Gontor tahun 2008, S1 Fakultas Hadits dan Diploma Tinggi Balaghoh Universitas Islam Madinah.
*Penulis adalah alumni Gontor tahun 2008, S1 Fakultas Hadits dan Diploma Tinggi Balaghoh Universitas Islam Madinah.
harusnya juga diberi sedikit keterangan bahwa perbedaan ada yg saig dan ada yg tidak, bravo mas aqdi akan tulisannya
BalasHapus